Sebagai seorang Muslim, kita terikat oleh aturan halal dan haram dalam memilih makanan dan minuman yang akan kita konsumsi. Aturan-aturan itu termaktub dalam Alquran dan hadis serta fatwa-fatwa ulama. Makanan dan minuman di sini tentunya juga termasuk obat-obatan yang diminum atau dimakan.
Dalam kondisi tertentu, yaitu dalam keadaan terpaksa atau darurat, kita memang diperkenankan untuk mengkonsumsi barang haram. Misalnya dalam suatu daerah tidak ditemukan makanan lain selain babi, maka daging babi itu bisa menjadi halal dimakan. Definisi darurat dalam pandangan fikih adalah suatu keadaan jika tidak makan bahan tersebut maka resikonya adalah mati.
Obat versus darurat
Kondisi darurat ini sering menjadi perdebatan yang cukup panjang dalam hal kesehatan atau memilih obat-obatan. Apakah berobat dengan bahan haram merupakan suatu keadaan darurat, ataukah masih bisa dicarikan jalan keluar lain yang menggunakan bahan halal?
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Setiap penyakit pasti ada obatnya, kecuali penyakit pikun.” Dalam kaidah fikih juga disebutkan bahwa Allah tidak akan menurunkan obat terhadap suatu penyakit yang berasal dari yang haram. Kedua hal tersebut memberikan keyakinan kepada kita bahwa sebenarnya setiap penyakit yang diberikan Allah kepada manusia pasti disertai dengan jalan keluarnya atau disediakan obatnya.
Masalahnya, kadang manusia tidak tahu obat tersebut. Saat ini banyak penyakit-penyakit baru bermunculan sebagai akibat dari perbuatan manusia yang belum ditemukan obatnya.
Penelitian dan penemuan baru di dunia kedokteran ini banyak dilakukan oleh orang-orang non Muslim. Mereka memanfaatkan apa saja yang bisa digunakan, tanpa mempedulikan aspek halal dan haram. Ambil contoh penyakit diabetes yang terjadi akibat ketidakmampuan seseorang untuk memproduksi enzim insulin yang berasal dari babi. Ketika hal itu sudah terjadi, barulah umat Islam ribut, bolehkah menggunakan insulin dari babi tersebut?
Kasus yang sama juga terjadi pada penggunaan kapsul. Banyak sekali obat-obatan yang dibungkus dengan kapsul dari gelatin. Kita tahu bahwa gelatin ini ada yang berasal dari sapi, banyak pula yang dari babi. Sekali lagi, penemuan kapsul inipun dilakukan oleh para ahli Barat yang tidak mempertimbangkan aspek halal dan haram.
Mencari alternatif
Kalau kondisinya sudah demikian memang serba sulit. Kita berada pada posisi buah simalakama. Digunakan terbentur pada masalah haram, tidak digunakan nyawa terancam. Dalam hal demikian bisa saja kondisi darurat digunakan untuk menyelamatkan nyawa, sebab kalau tidak dipakai insulin tersebut maka nyawa pasien bisa terancam.
Namun perlu disadari bahwa darurat demikian mestinya bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, menjadi tantangan dan kewajiban kita untuk bisa menemukan alternatif pengganti insulin babi yang bisa digunakan oleh para penderita diabetes.
Dengan keyakinan dan iman, kita yakin bahwa pasti ada alternatif obat yang berasal dari bahan halal. Riset ini sudah dimulai di New Zealand dan Malaysia dengan melibatkan banyak pakar Muslim yang mencoba mencari insulin dari sapi atau sumber lain yang halal.
Demikian juga dengan obat-obatan yang lain, mestinya penelitian dan pengembangan obat dimulai dengan batasan nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Artinya hanya bahan-bahan yang halal sajalah yang dikaji untuk dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Dengan demikian tidak ada masalah di kemudian hari ketika obat itu sudah bisa digunakan. Anda para ilmuwan Muslim, silakan berlomba-lomba dalam kebaikan di medan ini. Ir Nur Wahid MSi, auditor LPPOM MUI (republika)
0 komentar:
Post a Comment